Mathilde Chanvin, pendiri Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT), Kota Bitung, Sulawesi Utara ketika ditemui Mongabay Indonesia. Foto : Themmy Doaly |
Mathilde Chanvin: Mengubah Masa Depan Lewat Pendidikan Konservasi
Awalnya, program pendidikan ini hanya berlangsung di sekitar desa Batuputih, Kota Bitung. Namun, dalam beberapa tahun belakangan, pendidikan konservasi juga diajarkan di sekolah-sekolah di kabupaten Minahasa Utara hingga Manado.
Metode belajar yang diterapkan PKT cukup unik. Siswa-siswi tidak hanya mengikuti pelajaran formal di kelas, namun juga diajak melihat langsung satwa dan tumbuhan di habitatnya. Tak hanya kepada murid, mereka turut membagikan pengetahuan konservasi kepada guru-guru sekolah.
Dalam menjalankan program pendidikan, tim PKT banyak berjejaring dengan berbagai lembaga konservasi maupun komunitas pecinta alam di tingkat lokal. Lewat kegiatan yang mereka selenggarakan selama ini, PKT berhasil mencetak ratusan kader-kader konservasi yang mereka sebut duta PKT.
Mathilde Chanvin adalah nama yang tidak bisa dilupakan. Ia adalah koordinator sekaligus pendiri PKT. Dari usaha kerasnya, tim PKT bisa menjalankan berbagai kegiatan, seperti, belajar-mengajar di sekolah, menyelenggarakan kunjungan ke Taman Wisata Alam Batuputih dan Pusat Penyelamatan Satwa Tasikoki, serta menggelar pentas seni bagi siswa-siswi.
Pada tahun 2015, Primate Education Network (PEN) menetapkan Mathilde sebagai pemenang dalam Lesson Learned Challenge Prize Contest. Metode pendidikan yang diselenggarakan PKT dinilai bisa memberi inspirasi bagi pihak-pihak yang ingin berkontribusi dalam konservasi primata.
Mathilde Chanvin, pendiri Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT), Kota Bitung, Sulawesi Utara ketika ditemui Mongabay Indonesia. Foto : Themmy Doaly
Kamis, (23/6/2016), Mongabay Indonesia berkesempatan mewawancarai mahasiswi University of Portsmouth ini. Mathilde, yang berdarah Perancis, memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik. Ia sangat bersemangat membicarakan konservasi. Lewat pendidikan, dia percaya, agenda penyelamatan lingkungan bisa tercapai.
Berikut petikan wawancaranya :
Apa kesibukan sehari-hari?
Di Inggris, saya adalah mahasiswi S2 yang sedang menyelesaikan kuliah. Saat ini sedang dalam proses mengumpulkan data-data penelitian. Selain itu, saya juga bekerja di program Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT). Sampai minggu lalu, kami mengunjungi sekolah-sekolah untuk membuat evaluasi program dan rencana di periode kedepan.
Bagaimana cerita awal mendirikan PKT?
Jadi, saya datang ke Batuputih, Bitung, pada tahun 2011 untuk mendirikan PKT. Saya dibantu Victor Wody, warga setempat, juga berkolaborasi dengan Macaca Nigra Project.
Awalnya, program pendidikan konservasi hanya berlangsung di semua sekolah di Batuputih. Saya pikir, sebaiknya bisa dikembangkan di tempat lain juga. Kini, pendidikan konservasi juga ada di Minahasa Utara dan Mando.
Kenapa tertarik dengan pendidikan konservasi?
Sebelum datang ke Sulawesi, saya banyak belajar tentang hewan-hewan yang ada. Saya tertarik dengan satwa unik dan istimewa seperti yaki. Dan berdasarkan informasi, ada begitu banyak ancaman-ancaman terhadap yaki.
Saya pikir, bagus kalau ada program reguler tentang pendidikan agar orang lokal bisa mengetahui permasalahannya, mendapat pengetahuan dan mengubah perilaku selama ini. Saya selalu ingin berbuat sesuatu dengan orang lokal dan untuk orang lokal.
Bagaimana anda melihat dampak pendidikan konservasi?
Jadi, kami selalu berusaha mengetahui perubahan pengetahuan dari murid-murid, yang mengikuti program pendidikan, juga orang tua dan guru. Kami memberi mereka kuesioner sebelum dan sesudah periode program pendidikan. Kemudian, setelah membandingkan jawaban di kuesioner awal dan akhir, saya melihat pengetahuan murid, orang tua dan guru selalu meningkat.
Mathilde Chanvin, pendiri Pendidikan Konservasi Tangkoko (PKT), saat memberikan pengetahuan konservasi kepada anak-anak. Foto : Pendidikan Konservasi Tangkoko |
Sebelum program, kami memberi kuesioner dengan gambar-gambar satwa liar, contohnya babi rusa. Ada anak yang menjawabnya babi hutan, babi putar (babi guling) atau badak. Mereka belum tahu. Tapi, setelah program pendidikan berjalan, mereka bisa mengisi kuesioner dengan benar.
Kemudian, ada juga cerita seorang murid yang pernah mengikuti program PKT, dari desa Pinangunian. Murid ini pernah melihat orang tuanya pulang dari hutan membawa kuskus yang mati. Dia kemudian bilang ke orang tuanya, “Itu adalah binatang dilindungi yang hampir punah. Kalau mau masak, jangan di rumah ini.”
Di Inggris, anda juga menyuarakan penyelamatan lingkungan Indonesia?
Sebenarnya, di Inggris, masyarakat umum sangat tertarik dengan yaki, tapi banyak di antara mereka tidak tahu keistimewaannya. Jadi, waktu hari Macaca Internasional, kami membuat pameran di sana, yang mendapat dukungan dari beberapa kebun binatang di Inggris. Jadi, kami bisa presentasi soal keistimewaan juga keterancaman yaki.
Kami juga memperingatkan masyarakat di Inggris untuk lebih bijak ketika berwisata, kemudian ketika berinteraksi dengan satwa liar seperti gajah dan harimau. Karena, masih ada juga di antara turis, yang ketika berwisata ingin sekali dekat dengan satwa liar, misalnya yaki. Tapi, apa yang ingin kami sampaikan adalah tentang kepedulian pada satwa liar.
Kami juga mengatakan pada banyak masyarakat di Inggris untuk tidak mengkonsumsi produk-produk dari kelapa sawit, karena dampaknya yang besar bagi hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera dan berdampak pada orangutan.
Anda pernah mendapat penghargaan dari Primate Education Network. Bisa diceritakan?
Jadi, tahun 2015, Primate Education Network (PEN), sebuah kolaborasi lembaga pendidik primata di level global, mengadakan “Lesson Learned Challenge Prize Contest”. Kepada para pendidik konservasi primata di seluruh dunia, mereka memberi tantangan untuk membuat cerita tentang konservasi, permasalahan, serta bagaimana kerja-kerja berbagai lembaga dalam memberikan solusi konservasi primata. Sehingga, berbagai lembaga konservasi primata bisa saling membagi pelajaran dan pengalaman.
Di tahun itu, mewakili Asia, program Pendidikan Konservasi Tangkoko dipercaya sebagai pemenangnya, selain dari Peru dan Uganda.
Kelompok yaki di Cagar Alam Batu Putih, Sulut. Foto: Sapariah Saturi |
PEN mengapresiasi program pendidikan yang dibuat oleh PKT, sebagai lembaga yang melakukan kerja-kerja konservasi di Indonesia. Mereka (PEN) senang dengan metode pendidikan konservasi di Sulawesi Utara, terutama dengan evaluasi pendidikan yang kami buat, karena ada perubahan-perubahan pelajaran di situ.
Mereka juga melihat data murid, orang tua dan guru. Mereka menilai, perlu banyak waktu untuk mengisi semua kuesioner sampai di tahap evaluasi. Lalu, mereka kirim beberapa rekomendasi untuk program evaluasi. Tapi, intinya mereka senang dengan itu.
Penghargaan itu bisa jadi motivasi bagi individu ataupun lembaga konservasi lainnya?
Kami berterima kasih telah dipercaya menerima penghargaan itu. Kami selalu berupaya membagikan pengetahuan dan pengalaman untuk menumbuhkan kesadaran, khususnya berkaitan dengan kampanye pelestarian satwa liar di Sulawesi. Semoga, organisasi lain di luar Sulawesi ataupun di luar Indonesia, bisa mempelajari apa yang kami buat.
Apa yang anda harapkan agar pendidikan konservasi bisa lebih baik lagi?
Saya berharap, lewat program-program yang sudah dilakukan PKT, ada lebih banyak guru sekolah yang bisa mengajar pendidikan konservasi. Selain itu, setiap tahunnya, mata pelajaran pendidikan konservasi bisa masuk dalam muatan lokal.
Anda optimis pelestarian alam di Sulawesi Utara akan semakin baik?
Saya kira, anak-anak punya ketertarikan dan motivasi lebih pada pelestarian alam. Dengan metode pendidikan yang interaktif, pesan-pesan konservasi bisa lebih mudah disampaikan.
Saya sangat optimis dengan itu. Program PKT sudah 5 tahun berjalan. Murid-murid yang mengikuti proses pendidikan sejak awal, sekarang sudah lebih dewasa. Jadi, pelan-pelan, pengetahuan itu akan berubah semakin baik.
Saya percaya, generasi muda bisa membuat perubahan dan menjaga lingkungan dengan lebih baik kedepannya. Lewat pendidikan konservasi, mereka akan bisa mengubah masa depan.
PENDIDIKAN KONSERVASI TANGKOKO;
Program Pendidikan Konservasi untuk Masyarakat Lokal di Sulawesi Utara, IndonesiaTangkoko-Duasudara Cagar Alam adalah hutan 8800 hektar dan salah satu daerah perwakilan terakhir dari keanekaragaman hayati endemik Sulawesi Utara, seperti kera jambul (Macaca nigra). Terdaftar di IUCN Red List sebagai "kritis terancam punah", saat ini terdapat kurang dari 5000 kera jambul, 80% dari populasi yang menurun selama 30 tahun terakhir, karena perburuan dan hilangnya habitat. Sekitar 2.000 orang tetap berada di Tangkoko, habitat berharga terbesar bagi spesies ini.
tindakan mendesak seperti pendidikan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap dan meningkatkan kesadaran penduduk lokal tentang pentingnya melindungi kera jambul, satwa liar lainnya, dan habitat mereka. Pemohon, Mathilde Chanvin, telah mulai melaksanakan program Tangkoko Pendidikan Konservasi (TCE) pada tahun 2011. Bersama dengan koordinator lokal Indonesia, mereka dirancang dan dilaksanakan lokakarya pendidikan konservasi bagi penduduk desa dekat dengan cadangan dan hutan lindung lainnya dari daerah (Mount Klabat dan Tumpa). Mulai di salah satu desa, kegiatan kini telah diperluas lebih dari 8 desa lainnya, untuk 500 siswa. Tujuan akhir adalah untuk menciptakan sebuah program yang kuat dan berkelanjutan di semua desa-desa sekitar hutan Sulawesi Utara hingga ancaman menghilang.
Tujuan utama dari TCE adalah untuk membantu masyarakat lokal dari Sulawesi Utara untuk mengakui status sangat terancam punah dari satwa liar setempat dan kepentingan ekologi serta ekonomi mereka, dalam rangka untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan setempat.
Untuk mencapai tujuan ini, tujuan kami untuk tahun 2015 dan 2015-2016 tahun sekolah adalah:
1) Mengembangkan konservasi dan kesadaran lingkungan bagi anak-anak setempat melalui intervensi sekolah di desa-desa Sulawesi Utara, sekitar cadangan Tangkoko dan hutan lindung Gunung Klabat dan Tumpa.
2) Meningkatkan kerjasama kami dengan staf sekolah setempat, memberikan pelatihan bagi mereka sebelum tahun ajaran untuk memperkenalkan program kami, materi pendidikan kita, dan membantu mereka untuk mengintegrasikan ke dalam kurikulum mereka sehari-hari. tujuan utama kami adalah untuk menyusun kurikulum pendidikan konservasi yang sesuai di tingkat provinsi. Kami akan berkolaborasi dengan departemen pendidikan pemerintah daerah, sekolah, dan mitra kami.
3) Libatkan keluarga murid 'ke dalam program kami dengan mengembangkan kampanye kesadaran konservasi dan acara bagi masyarakat setempat.
Untuk informasi lebih lanjut hubungi:Email: tangkokoproject@gmail.com, Facebook: https://www.facebook.com/tangkokoconservationeducation, proyek Pembaruan;Baca tentang perkembangan terbaru proyek ini dalam newsletter dan melaporkan bawah.
Sumber:
http://www.mongabay.co.id/2016/06/29/mathilde-chanvin-mengubah-masa-depan-lewat-pendidikan-konservasi/
http://www.rufford.org/projects/mathilde_chanvin
No comments:
Post a Comment